Selasa, September 21, 2010

CD, Nasibmu...

Dalam tempo kurang dari sebulan, dua kali saya datang dan belanja di Aquarius Pondok Indah. Toko kaset dan CD di Jakarta Selatan ini dulu merupakan megastore, tempat penggemar musik bisa mencari dan mendapatkan hampir apa saja yang mereka inginkan. Bisa dibilang surgalah, begitu. Tapi dua kunjungan saya yang terakhir sudah dalam situasi jauh berbeda, yang sebetulnya terasa sejak beberapa waktu belakangan.

Situasi itu mengusik saya dan memaksa saya merenung-renung. Saya tak tahu apakah saya semata sedang memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan aneka CD yang kebetulan
cocok dengan harga relatif lebih murah atau sesungguhnya saya sedang merayakan sesuatu yang pahit, yakni peristiwa yang mengkonfirmasi tibanya akhir zaman bagi CD.

Dalam dua kesempatan itu saya memang berbelanja ketika Aquarius menggelar diskon menggiurkan, sampai 70 persen; di kesempatan pertama, demi mendapatkan momen ketika stok masih memberi banyak pilihan, saya bahkan datang pagi-pagi saat periode diskon baru dimulai, beberapa menit sebelum toko buka. Tapi pesta harga murah itu sesungguhnya justru merupakan prosesi menjelang penutupan toko untuk selamanya. Ya, tak akan ada lagi kunjungan ke toko itu setelah clearance sale ini selesai. Jelas, situasinya sungguh cenderung kelabu.

Tentu saja, diskon adalah daya tarik awalnya. Meski rutin membeli CD, saya merasa bukan dari kalangan yang bisa dengan enteng membayar berapa pun harga yang berlaku; CD termahal yang saya beli, dengan konsekuensi “puasa” beberapa saat sesudahnya, adalah Wall Street Voodoo dari Roine Stolt, seharga US$ 27. Selain itu, jumlah yang saya beli setiap bulannya juga tak tentu jumlahnya. Sulit bisa dibilang banyak. Karenanya, saya suka memanfaatkan kesempatan bila ada sedang ada diskon harga, dan sudah pasti saya tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang langka ini.

Yang harus saya akui, saya berasal dari generasi yang masih menganggap penting wujud fisik, produk tangible. Sebab, ya, begitulah dulu saya mengenal dan lalu menjelajah dan menikmati aneka musik --melalui media fisik. Mendengarkan musik (entah dari kaset, entah CD, atau barangkali media yang lain) sambil memegang-megang sampul atau booklet berisi info musisi atau grup yang bersangkutan dan lirik dari lagu-lagunya seperti dua hal yang sulit dipisahkan.

Belum lagi soal kualitas audio. Bagaimanapun, MP3 adalah versi sederhana dari file audio; dibandingkan dengan format yang terdapat pada CD, sesuatu lagu dalam format MP3 (tergantung seberapa besar derajat kompresinya) sudah kehilangan banyak bagian bunyi-bunyian. Tak mudah diidentifikasi, memang. Tapi, dengan media player yang baik, perbedaannya bisa dirasakan.

Tetapi saya sukar pula untuk mengelak bahwa kini waktu saya untuk menikmati musik dari media fisik, terutama CD, sudah sangat berkurang.
Sebagian besar dari musik yang saya dengarkan sehari-hari berasal dari...(apalagi kalau bukan) MP3, melalui komputer atau iPod. Boleh dibilang, saya sudah sulit bisa menyediakan waktu khusus untuk memutar CD, kecuali bila terpaksa sekali (misalnya untuk keperluan penulisan artikel). Untungnya saya sudah mengekonversi sebagai besar dari CD yang saya punya ke format MP3.

Bisakah, dengan begitu, saya masuk ke dalam golongan kaum yang sepenuhnya telah beralih ke atau memang sejak awal bergantung pada MP3 atau format audio lainnya, yang tak lagi memerlukan wujud fisik seperti CD? Jika saya yang harus menjawab, saya merasa tidak juga.
Soalnya, saya masih punya gairah untuk membeli dan mengoleksi CD (sekalipun saya sudah merasa kerepotan dengan urusan penyimpanannya).
Saya bahkan masih punya daftar panjang album yang dulu pernah saya punyai dalam format kaset, tapi, karena kaset-kaset itu sudah tiada lagi, saya merasa harus menggantinya dengan CD.

Dengan laju pembelian saya hingga kini, itu tujuan jauh yang saya yakin bakal lama bisa saya capai. Masih akan ada CD-kah sampai saya bisa sampai di ujung daftar? Di Aquarius, siang itu, di antara rak-rak peraga yang kesepian, saya sempat merasa seolah terlempar ke ruang maharaksasa yang bisu. Sunyinya menggigilkan. Dan pertanyaan itu seperti bergema, bahkan ketika saya sudah di jalan menuju rumah:
Benarkah saya hanya sedang memanfaatkan kesempatan untuk membeli CD dengan harga lebih terjangkau atau justru sesungguhnya saya sedang merayakan akhir zaman bagi CD?
(Sumber : id.omg.yahoo.com/blogs/cd-nasibmu-purwanto_setiadi-16.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar